Karakterisasi Keragaman Genetik DNA Mikrosatelit dan Hubungannya Dengan Bobot Badan pada Sapi Aceh

Sari EM¹, Yunus M1, Jianlin H2, Muchti3

1Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh 23111 Indonesia
E-mail: ekasari865@yahoo.com
2CAAS (Chinese Academy of Agricultural Sciences)
ILRI (International Livestock Research Institute)
JLLFGR (Joint Laboratory on Livestock and Forage Genetic Resources) Beijing-China
3Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Aceh, Indrapuri, Banda Aceh

(Diterima 3 Juni 2012 ; disetujui 20 Agustus 2013)

ABSTRACT

Sari EM, Yunus M, Jianlin H, Muchti. 2013. Characterisation polymorphims of genotype microsatellite in association with body weight of Aceh cattle. JITV 18(3): 220-226. DOI: 10.14334/jitv.v18i3.324.

The objectives of this research was to evaluate polymorphism of microsatellite DNA through the investigation of loci BM1824, SPS115, and ILSTS028, and their possible association with body weight of Aceh cattle. A total of 121 of DNA samples were collected from Aceh cattle population in Indrapuri. Genetic polymorphism of Aceh cattle was calculated in frequency of alleles and genotypes. Association between genotypes and body weight was calculated by general linear model (GLM). Result showed that three loci showed high polymorphism. BM1824 locus had 11 genotypes with 3 highest frequency for BC (30.87), CC (17.28) then BB (14,82), while frequency of the other 8 genotypes namely : AB, AC, AD, AF, BD, BE, BF, and CD were less than 10 %. SPS115 locus had 9 genotypes with two highest frequency for CE (30.00) and BE (20.00), while the other 7 genotype were less than 15%. ILSTS028 locus had 22 genotypes with two highest frequencies for CH (24.69) and CC (13.59) respectively. It is conduded that Aceh cattle possessing typical genotypes of BE in BM1824 locus, AE in SPS115, and BG in ILSTS028 locus was apparently related to a higher body weight compared to other genotypes. On the contrary, those possessing AB in BM1824 and CK genotypes in ILSTS028 were seemingly associated with a lower body weight.

Key Words: Aceh Cattle, Microsatellite, Body Weight

ABSTRAK

Sari EM, Yunus M, Jianlin H, Muchti. 2013. Karakterisasi keragaman genetik DNA mikrosatelit dan hubungannya dengan bobot badan pada sapi Aceh. JITV 18(3): 220-226. DOI: 10.14334/jitv.v18i3.324.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaman DNA mikrosatelit dengan menggunakan lokus BM1824, SPS115 dan ILSTS028, serta mengidentifikasikan hubungannya dengan bobot badan sapi Aceh. Sampel DNA berasal dari BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Indrapuri sebanyak 121 sampel. Keragaman genetik sapi Aceh diperhitungkan berdasarkan frekuensi alel dan genotipenya. Hubungan antara genotip dan bobot badan diperhitungkan dengan menggunakan GLM (General Linear Model). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga lokus mikrosatelit memperlihatkan keragaman yang tinggi. Lokus BM1824 memiliki 11 genotipe dengan tiga genotipe yang memiliki frekuensi yang tinggi yaitu BC (30,87), CC (17,28) dan BB (14,82), sedangkan 8 genotipe yang lain yaitu AB, AC, AD, AF, BD, BE, BF dan CD memiliki frekuensi dibawah 10%. Lokus SPS115 memiliki 9 genotipe dengan 2 genotipe yang memiliki frekuensi yang tinggi, yaitu CE (30,00) dan BE (20,00), sedangkan 7 genotipe lainnya memiliki frekuensi kurang dari 15%. Lokus ILSTS028 memiliki 22 genotipe dan 2 genotipe memiliki frekuensi yang tinggi yaitu CH (24,69) dan CC (13,59). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Aceh yang memiliki genotype BE pada lokus BM1824, AE pada lokus SPS115, dan BG pada lokus ILSTS028 memiliki bobot badan yang tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya, sebaliknya sapi Aceh yang memiliki genotipe AB pada lokus BM1824 dan CK pada lokus ILSTS028 memiliki bobot badan yang rendah.

Kata Kunci: Sapi Aceh, Mikrosatelit, Bobot Badan


PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi biologi molekuler, khususnya terhadap materi kimia genetik (DNA dan RNA), teknologi PCR dan elektroforesis telah menghasilkan penemuan berbagai rangkaian materi genetik sebagai penanda genetik (genetic marker) untuk sifat-sifat ekonomi yang memiliki nilai ekonomi tinggi, asal-usul dan kekerabatan suatu individu atau bangsa ternak tertentu.

Pada genom inti, diantara beberapa penanda molekuler yang digunakan untuk mengkarakterisasikan genetik, mikrosatelit merupakan penanda yang paling disukai. Hal ini karena penanda tersebut bersifat polimorfik dan sangat informatif, kelimpahannya di dalam genom inti relatif besar, dan dapat diamplifikasi melalui PCR. Penanda ini telah digunakan untuk menjelaskan pola migrasi dan domestikasi pada sapi Eropa (Loftus et al. 1994; Bruford et al. 2003) dan untuk karakterisasi populasi ternak sapi dari turunan Bos indicus dan Bos taurus (Beja-Pereira et al. 2003).

Penanda mikrosatelit digunakan secara luas sebagai penanda genetik di dalam studi populasi dan verifikasi silsilah keturunan (Cervini et al. 2006), terutama karena mikrosatelit mengandung informasi polimorfisme yang tinggi, tersebar luas di dalam genom eukariot (Tautz dan Renz 1984). Mikrosatelit digunakan Mukesh et al. (2004) untuk mengkaji keragaman genetik dan menetapkan hubungan di antara tiga bangsa sapi Zebu India (Sahiwal, Hariana dan Deoni).

Penggunaan QTL dengan menggunakan mikrosatelit untuk sifat pertumbuhan dan komposisi karkas pada sapi telah dilaporkan oleh sejumlah peneliti seperti Casas et al. (2003); Curi et al. (2005); Mizoguchi et al. (2006), sedangkan pada domba antara lain dilaporkan oleh Walling et al. (2004) dan Geldermann et al. (2006).

Informasi mengenai keragaman DNA mikrosatelit pada sapi Aceh telah dilaporkan sebelumnya (Abdullah et al. 2008, Sari et al. 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah et al. (2008) hanya menggambarkan keragaman alel mikrosatelit pada sapi Aceh yang berasal dari Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Banda Aceh tanpa menghubungkan keragaman genotipe alel mikrosatelit dengan bobot badan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data dasar tentang keragaman genetik DNA mikrosatelit dan hubungannya dengan bobot badan pada sapi Aceh. Melengkapi data informasi karakteristik genetik sapi Aceh yang telah dilaporkan sebelumnya, diharapkan data dasar keragaman genetik mikrosatelit pada ketiga lokus yang dipelajari dapat lebih melengkapi informasi yang bermanfaat bagi kemajuan dan kebijakan pembangunan terhadap perbaikan mutu genetik sapi Aceh.

MATERI DAN METODE

Penelitian untuk genotiping mikrosatelit dilakukan mulai tanggal 10 November 2009 - 4 Januari 2010 di Laboratorium Molekuler dan Genetik CAAS (Chinese Academy of Agricultural Sciences) - ILRI (International Livestock Research Institute) JLLFGR (Joint Laboratory on Livestock and Forage Genetic Resources) Beijing-China. Pengambilan sampel darah sapi Aceh berasal dari Indrapuri (121). Isolasi, ekstraksi dan purifikasi DNA total dilakukan di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan Institut Peternakan Bogor.

Sampel darah sapi Aceh

Pengambilan sampel darah sapi Aceh dilakukan dengan menggunakan venoject (EDTA) 5 ml pada vena jugularis. Rata-rata umur sapi berkisar 34-38 bulan, dan seluruh sapi yang digunakan merupakan sapi jantan.

Ekstraksi DNA Genom

Ekstraksi DNA genom dilakukan dengan metoda Sambrook et al. (1989) yang telah dimodifikasi dengan menggunakan buffer lisis sel (400 µl 1 x STE, dan 40 µl 10% SDS dan 10 µl proteinase-K. DNA dimurnikan dengan metode fenol-kloroform, yaitu dengan menambahkan 40 µl 5 M NaCl dan 400 µl fenol dan kloroform iso amil alkohol (CIAA). DNA diendapkan dengan 40 µl 5 M NaCl dan 800 µl etanol absolute. Endapan dicuci dengan menambahkan 800 µl 70% etanol, disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit, etanol dibuang dan diuapkan, selanjutnya DNA dilarutkan dengan 100 µl 80% TE (Elution buffer).

Amplifikasi DNA mikrosatelit

Mikrosatelit diamplifikasi melalui Polymerase Chain Reaction (PCR). Mesin PCR yang digunakan GeneAmp PCR System 9700 Applied Biosystem. Setiap reaksi PCR dibuat volume 15 µl dengan komposisi reaksi PCR mengandung 1,5 µl 1x buffer PCR; 1µl dNTP; 0,25 µl Taq DNA Polymerase; 0,25 µl Primer; 1,5 µl DNA; dan 10,5 µl dH2O. Denaturasi awal pada suhu 94̊C selama 5 menit dilakukan 1x ulangan, dilanjutkan dengan 33 x ulangan dengan langkah denaturasi pada suhu 94̊C selama 30 detik, 30 detik annealing pada suhu 55,5- 62̊C, ekstension pada suhu 72̊C selama 30 detik, dilanjutkan polymerase pada suhu 72̊C selama 5 menit, dan suhu penyimpanan 4̊C selama 25 menit.

Elektroforesis produk PCR

Disiapkan plate yang mempunyai 96 sumur dan dimasukkan 12 µl dari campuran 25 µl LIZ Size Standard 500 bp dan 1200 µ Hi-di Formamide pada setiap sumur. Produk PCR 1 µl masing-masing sampel dimasukkan ke dalam sumur yang telah berisi campuran LIZ Size Standard dan Hi-di Formamide (12µl). Plate ditutup dengan grey rubber-lid dan didenaturasi pada suhu 95̊C selama 5 menit. Plate kemudian di apit dengan tray spesifik hitam pada bagian bawah dan tray spesifik putih pada bagian atas yang akan ditempatkan di dalam mesin ABI 3130 x. Software mesin dijalankan sebelum dihidupkan mesin. Apabila semua fitur program menunjukkan tanda hijau, maka dapat dimulai

Primer mikrosatelit

Tabel 1. Primer mikrosatelit lokus BM1824, SPS 115 dan ILSTS 028

Lokus

Suhu Annealing

Produk PCR

Primer Sekuen

BM1824

58 ̊C

180-194

F:5'-GAGCAAGGTGTTTTTCCAATC-3'

R:5'-CATTCTCCAACTGCTTCCTTG-3'

SPS115

65 ̊C

234-254

F:5'-AAAGTGACACAACACGTTCTCCAG-3'

R:5'-AACGAGTGTCCTAGTTTGGCTGTC-3'

ILSTS028

55 ̊C

131-165

F:5'-TCCAGATTTTGTACCAGACC-3'

R:5'-GTCATGTCATACCTTTGAGC-3'

Sumber: Bishop et al. (1994).

impor sampel sheet untuk Plate Manager sebagai tempat muncul electropherogram. Selanjutnya mesin siap dijalankan selama ± 6 jam dan mesin akan menunjukkan tanda completed jika proses genotyping telah selesai.

Hasil elektroforesis mesin ABI dapat dilihat dan dianalisis dengan software GeneMapper versi 4.0 setelah melalui proses elektroforesis dalam mesin Applied Biosystem 3130x Genetic Analyzer. Software pada layar monitor akan menunjukkan peak dalam bentuk grafik dengan panjang tertentu dalam base pairs (bp) pada masing-masing sampel. Tampilan grafik yang konsisten satu peak menunjukkan sampel teramplifikasi memiliki satu alel (homozigot) dan sampel yang memiliki dua peak menunjukkan dua alel (heterozigot). Apabila ada tampilan grafik yang tidak beraturan, ini menandakan hasil yang kosong, dan apabila diperoleh tanda sinyal yang lebih dari dua grafik, maka sampel tersebut tercemar dengan DNA yang lain dan tidak digunakan.

Analisis data

Analisis data alel dilakukan dengan menggunakan software GeneMapper versi 4.0 (Applied Biosystems) dan hasil yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabulasi data sheet Excel. Frekuensi masing-masing alel setiap lokus mikrosatelit dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000):

Xi = (2nii + ∑nij) / (2N)

Keterangan:

Xi :

Frekuensi alel ke-i

nii :

Jumlah individu untuk genotipe AiAi

nij :

Jumlah individu untuk genotipe AiAj

N :

Jumlah sampel

Derajat heterozigositas (ĥ) dihitung berdasarkan frekuensi alel pada tiap lokus DNA mikrosatelit dengan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut:

ĥ= 2n (1-∑xi2)/(2n-1)

Keterangan:

xi :

Frekuensi alel lokus ke-i

n :

Jumlah sampel

ĥ :

Heterozigositas

Korelasi antara genotipe DNA mikrosatelit dan bobot badan dikalkulasi dengan menggunakan General Linear Model (GLM) dengan prosedur Least Square Means (LSM) (SAS.1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Frekuensi dan distribusi alel

Polimorfisme alel dari ketiga lokus mikrosatelit DNA BM1824, SPS115 dan ILSTS028 yang diamati pada populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri secara umum menunjukkan tingkat variasi yang berbeda. Seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan 3, teridentifikasi lokus BM1824 memiliki 6 alel (A, B, C, D, E dan F) dengan kisaran panjang 171– 193 bp, lokus SPS115 memiliki 5 alel (A, B, C, D dan E) dengan kisaran panjang 242 – 252 bp, dan lokus ISLTS028 memiliki 12 alel dengan kisaran panjang basa antara 129 -159 bp. Hasil penelitian ini lebih kecil dari penelitian Abdullah et al (2008) dengan menggunakan lokus yang sama BM1824, dari 160 sampel sapi Aceh yang digunakan ditemukan 7 alel dengan kisaran 190 - 212 bp, perbedaan ini disebabkan karena penggunaan jumlah sampel yang lebih sedikit dibandingkan jumlah sampel yang digunakan Abdullah et al. (2008).

Frekuensi alel mikrosatelit yang tinggi pada populasi sapi Aceh di Indrapuri disebabkan oleh mikrosatelit memiliki keragaman yang tinggi. Hasil penelitian mengidentifikasikan bahwa seluruh lokus yang digunakan (BM1824, SPS115, dan ILSTS028) dapat teramplifikasi dengan baik pada populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri. Berdasarkan dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa semua lokus yang digunakan bersifat polimorfik, dan semua lokus dapat digunakan sebagai marker genetik pada populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri.

Tabel 2 . Panjang alel, jumlah alel dan heterozigositas dari tiga lokus pada populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri

Lokus

Posisi dalam kromosom

Panjang alel

Jumlah alel

Heterozigositas (h)

BM1824

2

171 A- 193 F

6

0.68

SPS115

15

242 A- 252 E

5

0.70

ILSTS028

11

129 A- 159 L

12

0.73


Tabel 3. Estimasi panjang alel mikrosatelit BM1824, SPS115, dan ILSTS028

Alel

BM1824

SPS115

ILSTS028

A

171

242

129

B

179

244

133

C

181

246

137

D

183

250

139

E

189

252

141

F

193

-

143

G

-

-

145

H

-

-

149

I

-

-

151

J

-

-

153

K

-

-

157

L

-

-

159

Keragaman dan distribusi genotip mikrosatelit DNA

Keragaman lokus BM1824 dapat dilihat pada Tabel 4, memiliki 11 genotip. Keragaman dari ketiga lokus pada populasi sapi Aceh di Indrapuri memiliki keragaman yang berbeda.

Hasil penelitian mengidentifikasi bahwa frekuensi genotipe BC pada sapi Aceh memiliki frekuensi tertinggi (30,87 %), sebaliknya frekuensi terendah pada alel AF dan BE yang memiliki frekuensi yang sama (1,23%). Frekuensi genotipe CC (17,28%) merupakan frekuensi tertinggi kedua setelah genotipe BC.

Keragaman DNA mikrosatelit lokus SPS115 pada populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri dapat dilihat pada Tabel 4. Lokus SPS115 memilik 9 genotipe. Berdasarkan hasil penelitian, sapi Aceh yang memiliki genotip CE (30%) memiliki frekuensi tertinggi dibandingkan genotipe lainnya, diikuti sapi Aceh yang memiliki genotip BE (20%), genotipe AB, AE, BB dan BD yang memiliki frekuensi yang sama (2,50%). Keragaman DNA mikrosatelit lokus SPS115 pada populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri, memperlihatkan hanya terdapat 4 genotip (BC, BE, CC dan CE) yang memiliki frekuensi lebih dari 10%. Sementara itu, 4 genotip lainnya (AB, AE, BB, BD) hanya memiliki fekuensi kurang dari 10%.

Keragaman DNA mikrosatelit lokus ILSTS028 pada populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri dapat dilihat pada Tabel 4. Pada lokus ILSTS028, sapi Aceh yang memiliki genotip CH (24,69%) memiliki frekuensi tertinggi dibandingkan 21 genotip lainnya, diikuti genotip CC (13,59%). Sedangkan genotip lainnya memiliki frekuensi dibawah 10%. Frekuensi alel A, B, C, D, E, F, G, H, I, J dan K pada Tabel 4 masing-masing 4%, 24%, 38%, 4%, 8,6%, 1%, 3%, 13%, 0,2%, 4% dan 1,7%

Hubungan genotipe mikrosatelit DNA dengan bobot badan

Hubungan keragaman genotipe dari lokus BM1824 dengan bobot badan pada populasi sapi Aceh yang terdapat di BPTU Indrapuri terlihat pada Tabel 5. Sapi Aceh bergenotipe AD, AF, BC, dan BD pada lokus BM1824, mempunyai rataan bobot badan dengan kisaran 205 - 250 kg. Genotipe BE mempunyai rataan bobot badan yang tertinggi dibandingkan dengan 11 genotipe lainnya pada lokus BM1824 yaitu 300 kg.

Rataan bobot badan yang terendah dimiliki ternak yang bergenotipe AB yaitu sebesar 152,85 kg. Ternak sapi Aceh bergenotipe BC yang memiliki frekuensi terbesar (30,87%) hanya memiliki bobot badan rata-rata 221,20 kg.

Hubungan antara genotipe mikrosatelit SPS115 dengan bobot badan pada populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri dapat dilihat pada Tabel 6.

Sapi Aceh yang bergenotipe AE pada lokus SPS115 mempunyai rataan bobot badan tertinggi (290 kg), diikuti sapi yang bergenotipe EE dan BD. Tiga puluh persen sapi yang bergenotipe CE memiliki bobot badan yang terendah dibandingkan dengan delapan genotipe sapi lainnya yang terdapat di BPTU Indrapuri.

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa genotipe BG memiliki bobot badan yang tinggi dibandingkan dengan dua puluh satu genotipe lainnya, yaitu sebesar 300 kg. Sapi Aceh bergenotipe CE dan CI memiliki rataan bobot badan yang sama yaitu 290 kg, demikian juga genotipe sapi Aceh bergenotipe DH, HH, dan HK pada lokus ILSTS028 mempunyai rataan bobot badan yang sama yaitu 210 kg. Sementara itu, sapi yang bergenotipe CK merupakan sapi yang memiliki bobot badan yang terkecil (153,33 kg) dibandingkan dengan dua puluh satu genotipe lainnya.

Tabel 4. Jumlah dan frekuensi (%) masing-masing genotip pada lokus BM1824, SPS115, ILSTS028 dalam populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri

Genotip

Lokus

BM1824

SPS115

ILSTS028

AB

7 (8,64)

1 (2,50)

1 (1,23)

AC

4 (4,94)

-

-

AD

2 (2,47)

-

-

AE

-

1(2,50)

1 (1,23)

AF

1 (1,23)

-

-

BB

12 (14,82)

1 (2,50)

-

BC

25 (30,87)

5 (12,5)

6 (7,42)

BD

7 (8,64)

1 (2,50)

-

BE

1 (1,23)

8 (20,0)

-

BF

2 (2,47)

-

-

BG

-

-

1 (1,23)

BH

-

-

4 (4,94)

BK

-

-

1 (1,23)

CC

14 (17,28)

7 (17,5)

11 (13,59)

CD

6 (7,41)

-

1 (1,23)

CE

-

12 (30,0)

1 (1,23)

CF

-

-

1 (1,23)

CG

-

-

3 (3,70)

CH

-

-

20 (24,69)

CI

-

-

1 (1,23)

CJ

-

-

2 (2,47)

CK

-

-

3 (3,70)

DH

-

-

1 (1,23)

EE

-

4 (10,0)

-

EH

-

-

3 (3,70)

GH

-

-

7 (8,66)

GK

-

-

1 (1,23)

HH

-

-

6 (7,42)

HJ

-

-

4 (4,94)

HK

-

-

2 (2,47)

Total

81 (100)

40 (100)

81 (100)

Tabel 5. Hubungan antara genotipe mikrosatelit lokus BM1824 dengan bobot badan pada sapi Aceh di BPTU Indrapuri

Genotipe

Jumlah ternak sapi

Frekuensi (%)

Bobot badan

CV (%)

AB

7

8,64

152,85 ± 61,02

39,92

AC

4

4,94

180,00 ± 8,16

4,53

AD

2

2,47

205,00 ± 7,07

3,45

AF

1

1,23

250,00 ± 0,00

0,00

BB

12

14,82

194,17 ± 49,44

25,46

BC

25

30,87

221,20 ± 48,82

22,07

BD

7

8,64

213,57 ± 51,86

24,28

BE

1

1,23

300,00 ± 0,00

0,00

BF

2

2,47

160,00 ± 70,71

44,19

CC

14

17,28

193,93 ± 56,47

29,12

CD

6

7,41

191,50 ± 13,17

6,88

Total

81

100


Tabel 6. Hubungan antara genotipe mikrosatelit lokus SPS115 dengan bobot badan pada sapi Aceh di BPTU Indrapuri

Genotipe

Jumlah ternak sapi

Frekuensi (%)

Bobot badan

CV (%)

AB

1

2,50

185,00 ± 0,00

0,00

AE

1

2,50

290,00 ± 0,00

0,00

BB

1

2,50

180,00 ± 0,00

0,00

BC

5

12,5

191,00 ± 63,08

33,03

BD

1

1,92

200,00 ± 0,00

0,00

BE

8

20,00

198,13 ± 62,10

31,34

CC

7

17,5

185,71 ± 45,49

24,50

CE

12

30,00

184,17 ± 36,55

19,84

EE

4

10,0

240,00 ± 84,06

35,03

Total

40

100

Tabel 7. Hubungan antara genotipe mikrosatelit lokus ILSTS028 dengan bobot badan pada sapi Aceh di BPTU Indrapuri

Genotipe

Jumlah ternak sapi

Frekuensi (%)

Bobot badan

CV (%)

AB

1

1,23

185,00 ± 0,00

0,00

AE

1

1,23

200,00 ± 0,00

0,00

BC

6

7,42

188,33 ± 9,83

5,22

BG

1

1,23

300,00 ± 0,00

0,00

BH

4

4,94

197,50 ± 12,58

6,37

BK

1

1,23

199,00 ± 0,00

0,00

CC

11

13,59

191,81 ± 48,18

25,12

CD

1

1,23

200,00 ± 0,00

0,00

CE

1

1,23

290,00 ± 0,00

0,00

CF

1

1,23

185,00 ± 0,00

0,00

CG

3

3,70

165,00 ± 63,83

38,68

CH

20

24,69

220,00 ± 56,52

25,60

CI

1

1,23

290,00 ± 0,00

0,00

CJ

2

2,47

250,00 ± 70,71

28,28

CK

3

3,70

153,33 ± 37,87

24,70

DH

1

1,23

210,00 ± 0,00

0,00

EH

3

3,70

193,33 ± 11,55

5,97

GH

7

8,66

190,00 ± 63,25

33,29

GK

1

1,23

190,00 ± 0,00

0,00

HH

6

7,42

210,00 ± 37,41

17,81

HJ

4

4,94

160,00 ± 48,31

30,20

HK

2

2,47

210,00 ± 14,14

6,73

Total

81

100


Berdasarkan hasil pengamatan dari populasi sapi Aceh yang ada di BPTU Indrapuri dari tiga lokus yang diamati (BM1824, SPS115 dan ILSTS028), sapi Aceh bergenotipe BE pada lokus BM1824, AE pada lokus SPS 115 dan BG pada lokus ILSTS028, merupakan sapi Aceh yang memiliki bobot badan yang tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya.

Kemungkinan heterosis positif yang mengakibatkan tingginya rataan bobot badan pada ketiga genotipe dari masing-masing lokus, yang memberikan performa yang lebih baik dari rataan tetuanya (Bourdon 2000). Tingginya koefisien keragaman menunjukkan tingginya keragaman didalam populasi tersebut. Adanya hubungan langsung antara genotipe mikrosatelit DNA dengan bobot badan, kemungkinan disebabkan adanya keterkaitan dengan gen lainnya (Sumantri et al. 2008).

KESIMPULAN

Alel C pada lokus BM1824, SPS115 dan ILSTS028 memperlihatkan frekuensi yang sangat tinggi pada populasi sapi Aceh yang ada di BPTU Indrapuri. Tingginya frekuensi alel C dari ketiga lokus yang diamati dapat dijadikan sebagai marker genetik yang potensial untuk populasi sapi Aceh di BPTU Indrapuri.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada DIKTI atas bantuan dana Riset Program Sandwich Dikti 2009/2010. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di BPTU Indrapuri atas bantuannya dalam pengumpuan sampel.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah MAN, Noor RR, Martojo H, Solihin DD. 2008. Karakteristik genetik sapi Aceh dengan menggunakan DNA mikrosatelit. J Indones Trop Anim Agric. 33:63-74.

Beja-Pereira A, Alexandrio P, Bessa I, Carretoro Y, Dunner S, Ferrand N. 2003. Genetic characterization of Southwestern European bovine breeds: A historical and biogeographical reassessment with a set of 16 microsatellites. J Hered. 94:243-250.

Bishop MD, Kappes SM, Keele JW, Stone RT, Sunden IF, Hawkin GA, Toldo SS, Fries R, Grosz MD, Yoo JY, Beattie CW. 1994. A genetic Linkage Map for cattle. Genetics. 136:619-639.

Bourdon RM. 2000. Understanding animal breeding. 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall.

Bruford MW, Bradley DG, Luikart G. 2003. DNA markers reveal the complexity of livestock domestication. Nat Rev Genet. 4:900-910.

Casas E, Shackleford SD, Keele JW, Koohmaraie M, Smith TPL, Stone RT. 2003. Detection of quantitative trait loci for growth and carcass composition in cattle. J Anim Sci. 81:2976-2983.

Cervini M, Henrique-Silva F, Mortari N, Matheucci-Jr E. 2006. Genetic variability of 10 microsatellite markers in the characterization of Brazilian Nellore cattle (Bos indicus). Genet Mol Biol. 29:486-490.

Curi RA, de Oliveria HN, Silveria AC, Lopes CR. 2005. Effect of polymorphic microsatellites in the regulatory region of IGF and GHR on growth and carcass traits. Anim Genet. 36:58-62.

Geldermann H, Mer MR, Kuss W, Bartenschlager H. 2006. OLA-DRBI microsatellite variants are associated with ovine growth and reproduction traits. Genet Sel Evol. 38:431-44.

Loftus RT, McHugh DE, Bradley DG, Sharp PM, Cunningham P.1994. Evidence for two independent domestications of cattle. Proc Natl Acad Sci. 91:2757-2761.

Mizoguchi Y, Watanabe K, Fujinaka E, Iwamoto, Sugimoto Y. 2006. Mapping of quantitative trait loci for carcass traits in Japanese Black cattle population. Anim Genet. 37:51-54.

Mukesh M, Sodhi M, Bhatia S, Mishra BP. 2004. Genetic diversity of Indian native cattle breeds as analyzed with 20 microsatellites. J Anim Breed Genet. 121:416-424.

Nei M. Kumar S. 2000. Molecular evolution and phylogenetics. New York: Oxford University Press.

Sari EM, Noor RR, Sumantri C, Margawati ET, Yunus M. 2010.Identification of genotype DNA microsatellite in association with performance of Indonesian Aceh cattle. JGEB. 8:43-51.

SAS Institute Inc. 1999. SAS/STAT User's Guide. Cary (NC): SAS Institute Inc.

Sambrook J, Fritsch EF, Maniastis T. 1989. Molecular cloning: A laboratory manual. 2nd ed. Cold Spring Harbor (NY): Cold Spring Harbor Laboratory Press.

Sumantri C, Farajallah A, Fauzi U, Salamena JF. 2008. Keragaman genetik DNA mikrosatelit dan hubungannya dengan performa bobot badan pada domba lokal. Media Pet. 31:1-13.

Tautz D, Renz M. 1984. Simple sequence are ubiquitous components of eukaryotics genomes. Nucleic Acids Res. 12:4127-4138.

Walling GA, Visscher PM, Wilson AO, McTeir BL, Simon G, Bishop SC. 2004. Mapping of quantitative trait loci for growth and carcass traits in commercial sheep population. J Anim Sci. 82:2234-2245.

Refbacks

  • There are currently no refbacks.

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.